MEMIMPIN DALAM KELEMAHAN

Sebagai manusia yang terbatas, sering kali seorang pemimpin jemaat merasa lelah karena menyadari kelemahan-kelemahan yang ia miliki. Ia bisa letih, bahkan merasa gagal dalam menggembalakan umat, berkhotbah, menjalin relasi yang baik dengan sesama pelayan, stres karena tantangan finansial keluarganya, dan bidang kehidupan lainnya. Kelemahan-kelemahan itu mungkin terasa seperti api yang menyala dalam hati, yang membakar batin dan membuat seorang pemimpin rohani menderita.

Sebagai pemimpin, ketika kita merasa gagal karena kelemahan-kelemahan pribadi yang kita miliki tentu tidak mudah. Seakan kita telah melakukan semuanya secara keliru, atau kita mulai berpikir: ternyata memang kita tidak cukup baik, tidak cukup hebat. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan semacam ini, “Mengapa aku tidak bisa menjalankan pelayanan dengan baik? Mengapa aku tidak bisa menarik banyak jiwa datang beribadah di gereja ini? Mengapa aku tidak punya uang sebanyak hamba Tuhan lainnya?” Mungkin kita mengenal pertanyaan-pertanyaan ini. Kita merasa gagal karena kelemahan yang kita miliki, bahkan ketika kita sudah meminta Tuhan mengatasi semua kelemahan yang kita miliki.

Kelemahan yang Membatasi

Bukan saja hamba Tuhan di zaman modern yang merasa memiliki kelemahan. Seorang tokoh masyhur dalam Alkitab seperti Paulus pun pernah mengalami hal yang sama. Teolog dan misionaris terbesar abad pertama Masehi itu pun memiliki kelemahan yang tak bisa dicabut dari dirinya. Paulus menyebutnya sebagai “duri” yang ada dalam dagingnya. Apa pun penafsiran yang ditawarkan mengenai kata “duri” itu sendiri, yang pasti duri tersebut pastilah sesuatu kelemahan manusiawi yang tidak menyenangkan murid Gamaliel itu.

Sesuatu kelemahan yang membatasi Paulus dalam berkarya, bahkan mungkin menantangnya dengan bayangan kegagalan. Dalam pelayanan Paulus, sebagai pemimpin rohani, rasul, pengajar, misionaris, gembala, ia menyadari ada keterbatasan yang ia miliki (2 Korintus 12:7).

Kelemahan yang disebut sebagai duri ini tentu tidak mengenakkan. Bandingkan dengan Bilangan 33:55 (penekanan oleh penulis), “Tetapi jika kamu tidak menghalau penduduk negeri itu dari depanmu, maka orang-orang yang kamu tinggalkan hidup dari mereka akan menjadi seperti selumbar di matamu dan seperti duri yang menusuk lambungmu, dan mereka akan menyesatkan kamu di negeri yang kamu diami itu.” Seperti duri yang menusuk lambung tentu merupakan gambaran dari situasi yang menyakitkan dan menyebalkan. Bagi Paulus dan Anda yang adalah pemimpin rohani, kelemahan yang membatasi ruang gerak dan karya Anda ini tentu bisa dengan mudah kita pahami, bukan?

Duri yang Dibiarkan

Berulang kali Paulus memohon kepada Tuhan agar “duri” itu dicabut, tetapi dalam 2 Korintus 12:9 Tuhan mengatakan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Ayat ini menjadi salah satu bagian Alkitab yang menantang. Sebab, dengan sengaja Allah membiarkan sesuatu yang menyakitkan hadir dalam diri atau kehidupan seseorang yang beriman kepada-Nya.

Dalam sebuah penafsiran, “duri” ini dimaksudkan untuk mengimbangi “kesombongan” yang mungkin saja dimiliki oleh Paulus. Sehingga, “duri” itu sengaja dibiarkan Tuhan demi menjaga Paulus agar tetap berlaku rendah-hati. Adanya rintangan ini merupakan kehendak Tuhan yang sudah memakai pertimbangan yang matang, bahwa dalam kehebatannya sebagai Rasul, Paulus mungkin saja menjadi pribadi yang sombong. Namun, sekali lagi, ini adalah tafsir. Kita boleh setuju, boleh tidak.

Terlepas dari itu, surat 2 Korintus memang berisi teologi yang paling lengkap dalam Perjanjian Baru mengenai penderitaan orang Kristen. Bahkan, Paulus sendiri setelah mengetahui bahwa rencana Allahlah yang membuat “duri” itu tetap tinggal di dalam dirinya mengatakan bahwa ia terlebih suka bermegah atas kelemahannya, supaya kuasa Kristus turun menaunginya. Karena itu Paulus senang dan rela tinggal di dalam kelemahan, di dalam kesukaran, dan di dalam kesesakan oleh karena Kristus. “Sebab, jika aku lemah, maka aku kuat,” ujar Paulus (ayat 10).

Bagian ini mengajarkan kepada kita sedikitnya dua hal. Pertama, Tuhan tidak menjanjikan kita kesuksesan seumur hidup. Alih-alih sukses menghilangkan “duri,” Tuhan justru mengatakan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu.” Cukup berarti jatah berkat dan karunia yang Allah titipkan itu pas, tidak kurang, tidak lebih. Bandingkan dengan perumpamaan talenta dalam Matius 25:14-30. Ada tiga hamba yang masing diberi 5, 2, dan 1 talenta. Takaran itu pas, sesuai dengan kebijaksanaan dan kehendak sang tuan.

Tuhan tidak menjanjikan kita selalu berhasil dalam setiap kesempatan, atau memberikan semua yang menjadi impian kita. Untuk itu, kita diundang untuk merasa cukup dengan apa yang Allah sudah kerjakan dalam hidup dan pelayanan kita, saat ini juga dan di mana pun kita berada. Di saat yang sama kita diajak mewaspadai salah satu akar masalah kehidupan, yaitu “tidak merasa cukup.” Tentu kita ingat Doa Bapa Kami di mana Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk meminta kepada Bapa “makanan” atau “rezeki yang secukupnya pada hari ini.”

Dengan berkat yang cukup itu kita didorong untuk memaksimalkan segala potensi hidup kita. Seperti kisah sang tuan yang memberi talenta dalam Matius 25:14-30, ia berkata “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:23). Kisah tentang talenta ini mengajak kita, bahwa dengan apa yang ada pada kita saat ini, baik itu sesuai idealisme kita atau tidak, untuk memaksimalkan semua itu. Kita tidak perlu menunggu “duri” atau kelemahan dalam hidup kita dicabut terlebih dulu, baru memaksimalkan segala potensi kita. Setiap pemimpin rohani diundang untuk melakukan semua yang terbaik dalam keadaannya “saat ini dan di sini,” sebagaimana adanya dia.

Kedua, Allah menguatkan dan menunjukkan kekuatan-Nya melalui keterbatasan manusiawi kita. Ketika Paulus merasa gagal, Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Dari nats ini kita dapat memahami bahwa kegagalan bukan tentang menjadi orang yang lebih kuat, tetapi mempercayai Tuhan yang lebih kuat.

Kegagalan mendorong kita belajar dari para tokoh iman dalam Alkitab yang dalam kegagalan, mereka tetap percaya kepada Allah, dan berbuat terbaik yang mereka bisa lakukan. Sebut saja, Musa, Gideon, Daud, juga Paulus sendiri. Paulus putus asa dalam keinginannya untuk menemukan kelegaan dari beban ia tanggung. Dalam situasi seperti ini, ada dua cara untuk meringankan beban kita: (1) Dengan menghilangkan beban atau (2) Dengan memperkuat bahu yang menanggung beban.

Paulus mengalami cara yang kedua. Ia tahu bahwa kasih karunia Allah sudah cukup. Realitas yang ia hadapi tidak berubah, dan ia tidak bisa mengubahnya. Itu di luar kendalinya. Tetapi menerima kenyataan tersebut, dan tetap berkarya meski Tuhan tidak mencabut duri dari padanya.

Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat, seakan hidup ini tak ada artinya lagi. Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasa-Nya bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa. Jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah!

Syair di atas adalah penggalan lagu band D’Masiv yang cukup populer di kalangan anak muda Indonesia. Liriknya memberi semangat kepada para pendengar agar tidak menyerah menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan kelemahan. Lagu ini tampak relevan juga bagi para pemimpin atau siapa saja yang sedang dilingkupi kegundahan karena kelemahan-kelemahannya membatasi usaha meraih apa yang ia impikan.

Jangan Menyerah!

Budaya zaman ini tampaknya mengidolakan “manusia mandiri” yang dilandasi semangat ingin mengandalkan diri sendiri. Dalam satu sisi mungkin saja semangat ini baik, dalam arti kita tidak mau menggantungkan diri pada orang lain. Tidak mengandalkan hidup pada orang lain. Namun, di sisi lain kita juga perlu mengingat keterbatasan kita sebagai manusia. Kita tidak dapat menerima kekuatan Tuhan sampai kita mengetahui kelemahan kita. Ya, kita tidak dapat menerima kecukupan anugerah Tuhan sampai kita mengetahui kelemahan kita sendiri.

Pada titik ini kita diajak untuk melihat secara jujur keterbatasan kita. Kelemahan, kekurangan kita, dan jika kita sudah menemukannya, kita diajak untuk menata diri, mengatur langkah ke depan, dan tidak pesimis.

Pesimis sama artinya dengan sikap menghadapi suatu keadaan dengan tidak yakin, putus asa, dan hilang harapan. Mungkin saja itu bisa muncul ketika kita mengenali keterbatasan dan kelemahan kita. Realitas ini mungkin membuat kita menyerah dan pesimis, dan merasa sulit melihat kebaikan Allah di balik kesulitan yang dialami. Perasaan dan sikap seperti ini adalah bukti keterbatasan manusia.

Ketika mengetahui ada “duri” yang mengancam kesuksesan kita, bisa saja kita menyerah dan pesimis meski sudah pernah mengalami mujizat dan pertolongan Tuhan di masa lalu. Namun, Paulus tidak menyerah ketika ia tahu “duri” itu masih menancap dalam dirinya. Demikian pula bani Korah ketika menyadari bahwa sekalipun situasi yang mereka hadapi membuat mereka down, di saat yang sama mereka tidak ingin terjebak pada emosi negatif. Mereka menyanyikan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6, 12; 43:5).

Baik Paulus dan bani Korah mengajar kita, bahwa jiwa dan perasaan kita perlu diajak untuk tidak larut dan menikmati kesedihan atau pesimisme. “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah!” merupakan seruan langsung kepada diri sendiri, kepada jiwa kita agar tidak menyerah dan menjaga pengharapan kepada Tuhan. Sebab, kita percaya bahwa semua peristiwa yang terjadi ada dalam kendali Allah dan ada kebaikan yang Dia kerjakan di dalamnya (Mazmur 115:3; Yesaya 46:10; Matius 10:29-30; Roma 8:28). Tidak menyerah adalah kunci dalam situasi kritis seperti ini.

Mari kita tilik: Apa kelemahan kita yang sebenarnya itu justru memelihara iman kita tetap serius di hadapan Tuhan? Sering kali kita diberitahu bahwa kegagalan adalah “pengalaman belajar” dan itu adalah sesuatu yang harus dilewati, tetapi nyatanya itu tidak selalu menjawab pergumulan kita. Maka, saya mengusulkan agar kita berhenti menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang harus “dilewati” seperti sesuatu yang dapat kita mudah taklukkan, tetapi melihatnya sebagai realitas kehidupan yang tak terhindarkan.

Oleh sebab itu, tidak apa jika kita meratap (Mazmur 13: 42-43). Tuhan tidak menjanjikan kita kesuksesan seumur hidup, tetapi Dia pasti menguatkan dan menunjukkan kekuatan-Nya melalui keterbatasan manusiawi kita. Bagi kita yang sedang down dalam hari-hari ini, kita diundang untuk bangkit (Roma 12:11), tidak pesimis, dan tetap setia melanjutkan pelayanan kita, seperti nasihat sabda Tuhan, Kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” (2 Timotius 4:5).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top